Senin, 28 Maret 2011

SPMB dan Dilema Pendidikan Tinggi

LIBERALISASI di bidang pendidikan tinggi menjadi isu yang tidak mungkin lagi bisa dielakkan. Negara tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan seluruh anggaran, sehingga universitas dituntut mencari sendiri dana untuk menjaga kelangsungan penyelenggaraan pendidikan.
Mencuatnya kasus 41 perguruan tinggi negeri yang berniat keluar dari kepanitiaan seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB) pekan ini menegaskan betapa krusialnya masalah ini.
Sistem seleksi nasional calon mahasiswa yang terpusat semakin lama menjadi semakin tidak populer. Tidak populer, karena perguruan tinggi tidak bisa memilih langsung calon mahasiswa. Tidak populer, karena dana hasil penerimaan mahasiswa baru tidak langsung bisa digunakan perguruan tinggi negeri yang bersangkutan. Dana itu harus singgah dan dikelola terlebih dahulu oleh panitia pusat.
Perguruan tinggi adalah sumber kecerdasan. Ia menjadi salah satu tumpuan sebuah bangsa untuk memenuhi kebutuhan akan talenta, intelektualitas, dan kepemimpinan masa depan.
Peningkatan mutu perguruan tinggi adalah wajib hukumnya bila sebuah bangsa ingin terus bertahan dalam peradaban global yang semakin lama semakin kompetitif. Kampus pun harus mampu menjadi centers of excellence.
Soalnya adalah misi ini tidak serta-merta dapat dijalankan, karena keterbatasan anggaran. Meskipun konstitusi menjamin bahwa sektor pendidikan mendapatkan 20% dana APBN, tidak berarti persoalan ini selesai dengan sendirinya. Tidak hanya dalam konteks SPMB, dalam hampir semua soal, universitas negeri selalu terbentur masalah yang telah menjadi klasik.
Beberapa perguruan tinggi berstatus badan hukum milik negara (BHMN) menyelesaikan masalah ini dengan menarik dana pendidikan dari 80% calon mahasiswa yang cerdas dan mampu. Sedangkan 20% calon mahasiswa yang pintar, tapi kurang mampu secara finansial, tetap diberi tempat melalui jalur SPMB.
Opsi itu telah menjadi solusi bagi sebagian kecil perguruan tinggi negeri. Namun sebagian besar lainnya, tetap berada dalam dilema. Sampai kapan situasi ini akan berlangsung? Akankah negara membiarkan kualitas perguruan tinggi kita terus merosot dalam persaingan antaruniversitas di tataran global?
Sengketa SPMB hanyalah pucuk dari persoalan lebih substansial yang akan terus menghantui dunia pendidikan tinggi. Karena itu, perguruan tinggi negeri dituntut untuk melepaskan diri dari ketergantungan dana terhadap negara.
Membuat setiap universitas negeri memiliki kemandirian sepenuhnya adalah sebuah urgensi yang tidak bisa ditawar-tawar dan dihambat-hambat lagi.
Memaksakan setiap perguruan tinggi mengikuti SPMB secara terpusat dan terikat adalah keputusan yang tidak tepat. Ini akan membuat kualitas perguruan tinggi negeri tidak saja mengalami stagnasi, namun juga degradasi.
Sistem subsidi negara sehingga pendidikan tinggi gratis, tetapi tetap berkualitas hanyalah utopia di negeri ini. Ia menjadi pilihan tidak realistis mengingat tingkat kemakmuran negara kian menjauh.
Bila negara benar-benar tidak lagi mampu mengatasi persoalan ini, pemerintah harus mengizinkan seluruh perguruan tinggi negeri mandiri secara finansial. Mereka harus mencari dana sendiri ke pasar, karena itulah pilihan yang paling mungkin.
Kendati, masyarakat harus selalu siap dengan biaya pendidikan yang semakin mahal, konsekuensi logis dari liberalisasi ini menjadi keniscayaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar