Senin, 28 Maret 2011

Tentang Hukum Perdata

I. KEADAAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA
Perkataan “Hukum Perdata” dalam arti yang luas meliputi semua hukum “Privat materiil”, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan. Ada juga memakai perkataan “hukum sipil” dan perkataan “hukum perdata”, adakalanya dipakai dalam arti yang sempit, sebagai lawan hukum dagang.
Adapula beberapa definisi hukum perdata yang diberikan oleh beberapa ahli hukum antara lain :
1. Prof. Subekti, S.H. Menurutnya hukum perdata itu ialah segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan.
2. Prof. Dr. Sri Sudewi Masfun, S.H. menurutnya hukum perdata itu ialah hukum yang mengatur kepentingan antara warga Negara perseorangan yang satu dengan perseorangan yang lain.
3. Ridwan Syahrani, S.H. menurutnya hukum perdata itu ialah hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan yang lain, yang menitik beratkan kepada kepentingan perseorangan atau pribadi.

Perihal kemungkinan untuk menundukan diri pada hukum eropah telah diatur lebih di dalam Staatsblad 1917 No. 12.
Peraturan ini mengenal empat macam penundukan, yaitu :
1. penundukan pada seluruh Hukum Perdata Eropah;
2. Penundukan diri pada sebagian Hukum Perdata eropah, yang dimaksudkan hanya pada hukum kekayaan harta benda saja (vermogensrecht), seperti yang telah dinyatakan berlaku bagi golongan Timur Asing bukan Tionghoa;
3. Penundukan mengenai suatu perbuatan hukum tertentu;
4. Penundukan secara “diam-diam”, menurut pasal 29 yang berbunyi : “jika seorang Indonesia asli melakukan suatu perbuatan hukum yang tidak dikenal di dalam hukumnya sendiri, ia dianggap secara diam-diam menundukan dirinya pada hukum Eropah”.
Undang-undang Dasar kita tidak mengenal adanya golongan-golongan warga Negara, adanya hukum yang berlainan untuk berbagai golongan itu janggal. Kita sedang berusaha untuk membentuk suatu kodifikasi Hukum Nasional. Sementara belum tercapai B.W dan W.v.K. masih berlaku, tetapi dengan

ketentuan bahwa Hakim (pengadilan) dapat menganggap suatu pasal tidak berlaku lagi jika dianggapnya bertentangan dengan keadaan jaman kemerdekaan sekarang ini. Dikatakan bahwa B.W. dan W.v.K. itu tidak lagi merupakan suatu “Wetboek” tetapi suatu “rechtsboek”.

2. KODIFIKASI DAN SISTEMATIKA HUKUM PERDATA
A. Himpunan undang-undang dan Kodifikasi
Kodifikasi artinya pemghimpunan ketentuan-ketentuan bidang hukum tertentu dalam suatu kitab undang-undang yang tersusun secara sistematis, lengkap, dan tuntas. Bidang hukum tertentu dapat dibuat dan dihimpun dalam bentuk undang-undang biasa dan dapat pula dalam bentuk kodifikasi. Bidang hukum tertentu itu misalnya bidang hukum perdata, pidana, dagang, acara perdata, acara pidana, dan tata Negara.
Apabila undang-undang itu dibuat dalam bentuk kodifikasi, maka unsur-unsur yang perlu dipenuhi ialah sebagai berikut :
1. meliputi bidang hukum tertentu
2. tersusun secara sistematis
3. memuat materi yang lengkap
4. penerapannya memberikan penyelesaian tuntas.
Bidang-bidang tertentu yang dapat dikodifikasikan dan sudah pernah terbentuk misalnya bidang hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana, hukum acara perdata, hukum acara pidana. Materi bidang hukum yang dikodifikasikan itu tersusun secara sistematis, artinya disusun secara berurutan, tidak tumpang tindih, dari bentuk dan pengertian umum ke bentuk dan pengertian khusus, tidak ada pertentangan materi antara pasal sebelumnya dan pasal berikutnya. Memuat materi yang lengkep, artinya bidang hukum itu memuat semuanya tidak ada ketinggalan. Memberikan penyelesaian tuntas, artinya tidak lagi memerlukan peraturan pelaksanaan, semua ketentuan langsung dapat diterapkan dan di ikuti.






B. Sistematika Kodifikasi
Sistematika bentuk kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt) meliputi urutan bentuk bagian terbesar sampai pada bentuk bagian terkecil yaitu :
1. kitab undang-undang tersusun atas buku-buku
2. tiap buku tersusun atas bab-bab
3. tiap bab tersusun atas bagian-bagian
4. tiap bagian tersusun atas pasal-pasal
5. tiap pasal tersusun atas ayat-ayat.
Sistematika isi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata meliputi kelompok materi berdasarkan sistem fungsional. Sistem fungsional ini ada dua macam, yaitu menurut pembentukan undang-undang (pembentuk B.W.) dan menurut ilmu pengetahuan hukum.
Hukum Perdata menurut ilmu hukum sekarang ini, lazim dibagi dalam empat bagian, yaitu :
1. Hukum tentang diri seseorang,
2. Hukum Kekeluargaan,
3. Hukum Kekayan dan
4. Hukum Warisan.
Bagaimanakah sistematik yang dipakai oleh kitab Undang-undang Hukum Predata, yang terdiri atas buku yaitu ;
1. Buku I, yang berkepala “perihal orang”, memuat hukum tentang diri seseorang dan Hukum Keluarga;
2. Buku II, yang berkepala “perihal benda”, memuat hukum perbendaan serta hukum waris;
3. Buku III, yang berkepala “perihal Perikatan”, memuat hukum kekayaan yang mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak-pihak tertentu;
4. Buku IV, yang berkepala “perihal pembuktian dan lewat waktu (daluwarsa), memuat perihal alat-alat pembuktian dan akibat-akibat lewat waktu terhadap hubungan-hubungan Hukum.
Mengenai sistematika isi, ada perbedaan antara sistematika B.W. (KUHPdt) dan sistematika ilmu pengetahuan hukum. Perbedaan tersebut disebabkan oleh latar belakang penyusunannya. Penyusunan B.W. (KUHPdt)

didasarkan pada sistem individualisme (kebebasan individu)sebagai pengaruh dari revulusi Prancis. Hak milik (eigendom) adalah sentral, dan tidak dapat di ganggu gugat oleh siapapun juga. Hak dan kebebasan setiap individu harus dijamin. Sedangkan sistematikailmu pengetahuan hukum didasarkan pada perkembangan siklus kehidupan manusia.

3. B.W. (KUHPdt) SEBAGAI HIMPUNAN TAK TERTULIS
B.W. Hindia Belanda diperuntukan bagi penduduk golongan Eropah dan dipersamakan berdasarkan pasal 131 I.S. J.O. 163 I.S. setelah Indonesia merdeka, keberlakuan untuk warga Negara Indonesia keturunan eropah dan yang disamakan terus berlangsung. Keberlakuan yang demikian adalah formal berdasarkan aturan peralihan UUD 45.
Dalam Negara Indonesia merdeka berlakunya hukum perdata semacam ini jelas berbau kolonial yang membeda-bedakan warga Negara Indonesia berdasarkan keturunannya. Disamping itu memang materi yang diatur dalam B.W. (KUHPdt) sebagian ada yang tidak sesuai dengan pancasila dasar Negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia, dan tidak sesuai dengan aspirasi Negara dan bangsa merdeka.
Atas dasar pertimbangan situasi dan kondisi sebagai Negara dan bangsa yang merdeka, dan dalam rangka penyesuain hukum kolonial kedalam hukum Indonesia merdeka, maka pada tahun 1962 Dr.Sahardjo,S.H. Menteri Kehakiman R.I. pada waktu itu mengeluarkan gagasan, yang menganggap B.W. (KUHPdt) dapat dipedomani oleh semua warga Negara indonesia, ketentuan-ketentuan yang sesuai dapat di ikuti, sedangkan ketentuan-ketentuan yang tidak sesuai lagi dapat ditinggalkan.

4. SUMBER HUKUM PERDATA
A. Arti Sumber Hukum
Yang dimaksud sumber hukum perdata ialah asal mula hukum perdata, atau tempat dimana hukum perdata ditemukan. Asal mula itu menunjuk kepada sejarah asalnya dan pembentukannya, sedangkan “tempat” menunjuk kepada rumusan-rumusan itu dimuat dan dapat dibaca.


B. Sumber Dalam Arti Formal
Sumber dalam arti “sejarah asalnya” hukum perdata ialah hukum perdata buatan pemerintah kolonial belanda yang terhimpun dalam B.W. (KUHPdt). Berdasarkan aturan peralihan UUD 45, B.W. (KUHPdt) itu dinyatakan tetap berlaku sepanjang belum diganti dengan undang-undang baru berdasarkan UUD 45.
Sumber dalam arti “pembentukannya” adalah pembentukan undang-undang berdasarkan UUD’45. UUD’45 ditetapkan oleh rakyat Indonesia, yang didalmnya termasuk juga aturan peralihan itu, B.W.(KUHPdt) dinyatakan tetap berlaku. Ini berarti pembentuk UUD Indonesia ikut menyatakan berlakunya B.W. (KUHPdt).

C. Sumber Dalam Arti Materil
Sumber dalam arti “tempat” adalah Staatsblad atau Lembaran Negara di mana dirumusan ketentuan undang-undang hukum perdata dapat dibaca oleh umum. Misalnya Stb. 1847 – 23 memuat B.W. (KUHPdt), L.N. 1974 – 1 memuat undang-undang perkawinan, dll. Selain itu, keputusan hakim yang disebut yurisprudensi juga termasuk sumber dalam arti tempat dimana hukum perdata bentukan hakim dapat dibaca. Misalnya yurisprudensi Mahkamah Agung mengenai warisan, mengenai badan hukum, mengenai hak atas tanah, dll. Sumber dalam arti tempat tersebut “sumber dalam arti material”.
Sumber hukum perdata dalam arti material umumnya masih bekas peninggalan zaman kolonial dahulu, terutama terdapat dalam staatsblad. Sedangkan yang lainnya sebagian besar yurisprudensi Mahkamah Agung R.I. dan sebagian kecil saja adalah Lembaran Negara R.I. yang memuat huku perdata nasional R.I.

4. ORANG SEBAGAI SUBYEK HUKUM
A. Subyek Hukum
Subyek hukum ialah pendukung hak dan kewajiban. Pendukung hak dan kewajiban adalah orang. Dalam hukum, perkataan orang (person) berarti pembawa hak atau subyek didalam hukum. Yang dinamakan “kematian perdata”, yaitu suatu hukuman yang menyatakan bahwa seseorang tidak dapat memiliki

sesuatu hak lagi tidak terdapat dalam hukum sekarang ini (pasal 3 B.W.). berlakunya seseorang pembawa hak, mulai dari saat ia dilahirkan dan berakhir pada saat ia meninggal.
Disamping orang-orang (manusia), telah tampak pula di dalam hukum ikut sertanya badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan yang dapat juga memiliki hak-hak dan melakukan-melakukan perbuatan hukum seperti seorang manusia.
Badan hukum adalah subyek hukum dalam arti yuridis, sebagai gejala dalam hidup bermasyarakat, sebagai badan ciptaan manusia berdasarkan hukum, mempunyai hak dan kewajiban seperti manusia pribadi.
Menurut B.W., orang dikatakan masih dibawa umur apabila ia belum mencapai usia 21 tahun, kecuali jikalau ia sudah kawin.selanjutnya di dalam B.W. terdapat berbagai pasal yang secara khusus memperbedakan antara kecakapan-kecakapan orang lelaki dan orang perempuan, misalnya :
1. seorang perempuan dapat kawin, jika ia sudah berumur 15 tahun dan seorang lelaki jika ia sudah berumur 18 tahun;
2. seorang perempuan tidak diperbolehkan kawin lagi sebelum lewat 300 hari setelah perkawinan diputuskan, sedangkan untuk seorang laki-laki, tidak terdapat larangan semacam ini;
3. seorang lelaki baru diperbolehkan mengakui seorang anaknya, jika ia sudah berusia paling sedikit 19 tahun, sedangkan untuk seorang perempuan tiada suatu pembatasan umur sperti ini.

B. Pengakuan Sebagai Subyek Hukum
Pengakuan terhadap manusia pribadi sebagai subyek hukum dapat dilakukan sejak ia masih di dalam kandungan ibunya, asal ia dilahirkan hidup (pasal 2 KUHPdt). Hal ini mempunyai arti penting (reievan) apabila kepentingan anak itu menghendakinya, misalnya dalam hal menerima warisan, menerima hibah, asas ini dapat diikuti dalam pembinaan hukum perdata nasional.
Dalam pasal 3 KUHPdt dinyatakan bahwa tidak ada satu hukuman pun yang dapat mengakibatkan kematian perdata (burgelijke dood) atau kehilangan segala hak perdata. Ini berarti betapa pun kesalahan seseorang, sehingga ia dijatuhi hukuman oleh Hakim, hukuman Hakim tersebut tidak boleh menhilangkan kedudukan sebagai pendukung hak dan kewajiban perdata.

Negara Republik Indonesia sebagai Negara hukum mengakui manusia pribadi sebagai subyek hukum, pendukung hak dan kewajiban. Dalam pasal 27 ayat 1 UUD’45 dinyatakan bahwa semua warga Negara adalah sama kedudukannya dalam hukum. Di Negara lain, seperti Afrika selatan, yang menganut rasdiskriminasi, tidak semua manusia pribadi diakui sebagai subyek hukum. Manusia kulit berwarna hitam tidak diakui sebagai pendukung hak, melainkan hanya sebagai pendukung kewajiban saja.

C. Badan Hukum
Badan hukum adalah subyek hukum ciptaan manusia pribadi berdasarkan hukum, yang diberi hak dan kewajiban seperti manusia pribadi. Menurut ketentuan pasal 1653 KUHPdt ada tiga macam klasifikasi badan hukum berdasarkan eksistensinya, yaitu :
1. badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah (penguasa), seperti badan-badan pemerintahan, perusahan-perusahan Negara.
2. Badan hukum yang diakui oleh pemerintah (penguasa), seperti Persero Terbatas, Koperasi.
3. badan hukum yang diperbolehkan atau untuk suatu tujuan tertentu yang bersifat ideal, seperti yayasan (pendidikan, sosial, keagamaan, dan lain-lain).
Badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah adalah badan hukum yang sengaja diadakan oleh pemerintah untuk kepentingan Negara, baik lembaga-lembaga Negara maupun perusahaan-perusahaan milik Negara. Badan hukum ini dibentuk pemerintah dengan undang-undang atau dengan peraturan pemerintah.
Badan hukum yang diakui oleh pemerintah adalah badan hukum yang dibentuk oleh pihak swasta atau pribadi warga Negara untuk kepentingan pribadi pembentuknya sendiri. Tetapi badan hukum tersebut mendapat pengakuan dari pemerintah menurut undang-undang.
Badan hukum yang diperbolehkan adalah badan hukum yang tidak dibentuk oleh pemerintah dan tidak pula memerlukan pengakuan dari pemerintah menurut undang-undang, tetapi diperbolehkan karena tujuannya yang bersifat ideal dibidang sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayaan, keagamaan, badan hukum ini selalu berupa yayasan.


Dalam hukum perdata tidak ada ketentuan yang mengatur tentang syarat-syarat material pembentukan badan hukum, yang ada adalah syarat formal, yaitu harus dengan akta notaris. Karena tidak ada ketentuan demikian, maka menurut Prof.Mayers (1948) doktrin ilmu hukum menetapkan syarat-syarat itu ialah :
1. ada harta kekayaan sendiri
2. ada tujuan tertentu
3. ada kepentingan sendiri
4. ada organisasi yang teratur.

Badan hukum itu memiliki harta kekayaan sendiri terpisah sama sekali dengan harta kekayaan pribadi anggota, pendiri, atau pengurusnya. Harta kekayaan ini diperoleh dari pemasukan para anggota atau pemasukan dari perbuatan pemisahan pendirinya yang mempunyai tujuan mendirikan badan itu.
Badan hukum tiu mempunyai tujuan tertentu. Tujuan tertentu itu bukan tujuan pribadi anggota atau pendirinya. Badan hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban melakukan sendiri usaha mencapai tujuannya. Tujuan tersebut dapat bersifat komersial dan dapat pula bersifat ideal.
Badan hukum harus mempunyai kepentingan sendiri. Kepentingan adalah hak subjektif yang timbul dari peristiwa hukum, yang dilindungi oleh hukum. Badan hukum yang mempunyai kepentingan sendiri dapat menuntut dan mempertahankan kepentingannya itu terhadap pihak ketiga dalam pergaulan hukum.
Badan hukum adalah satu kesatuan organisasi bentukan manusia berdasarkan hukum yang hanya dapat melakukan perbuatan hukum melalui alat perlengkapannya. Alat perlengkapan tersebut merupakan pengurus badan hukum yang mempunyai fungsi dan tugas yang diatur dalam anggaran dasar. Dengan demikian, badan hukum itu merupakan organisasi yang teratur. Organisasi yang teratur adalah unsure esensial bagi badan hukum.

5. KEWENAGAN BERHAK DAN BERBUAT
A. Kewenangan Berhak
Hukum perdata mengatur tentang hak keperdataan. Dalam hukum perdata setiap manusia pribadi mempunyai hak yang sama,manusia pribadi mempunyai

kewenangan berhak sejak ia dilahirkan, bahkan sejak dalam kandungan ibunya, asal ia di lahirkan hidup apabila kepentingannya menghendaki (pasal 2 KUHPdt).
Kewenangan berhak setiap manusia pribadi tidak dapat dihilangkan / ditiadakan oleh suatu hukuman apapun. Hal ini ditentukan oleh pasal 3 KUHPdt yang menyatakan bahwa tidak ada suatu hukuman apapun yang mengakibatkan kematian perdata atau kehilangan hak-hak perdata seseorang.
Hak perdata merupakan hak asasi yang melekat pada diri pribadi setiap orang. Hak perdata ialah identitas manusia pribadi yang tidak dapat lenyap atau hilang. Identitas ini baru hilang atau lenyap apabila yang bersangkutan meninggal dunia.

B. Kewenangan Berbuat
Pada dasarnya setiap orang dewasa adalah cakap atau mampu melakukan perbuatan hukum karena memenuhi syarat umur menurut hukum. Tetapi apabila orang dewasa tiu dalam keadaan sakit ingatan atau gila, tidak mampu mengurus dirinya sendiri karena boros, maka ia disamakan denga orang belum dewasa dan oleh hukum dinyatakan sebagai tidak cakap atau tidak mampu melakukan perbuatan hukum (pasalonbekwaam, incapable, pasal 330 KUHPdt).
Perbuatan hukum yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap atau tidak mampu menurut hukum adalah tidak sah karena tidak memenuhi syarat hukum. Perbuatan hukum yang tidak sah dapat dimintakan pembatalan melalui Hakim (vernietigbaar)
Tidak setiap orang yang belum dewasa dinyatakan tidak wenang melakukan perbuatan hukum. Ada perbuatan hukum tertentudapat dilakukan oleh orang yang belum dewasa karena di akui oleh hukum. Anak wanita yang berumur 16 tahun dan anak pria yang berumur 19 tahun dapat melakukan perkawinan, walaupun mereka belum dewasa menurut hukum, karena hukum mengakui perbuatan mereka itu (pasal 7 ayat 1 UU No.1 Tahun 1974).

6. TEMPAT TINGGAL (Domisili)
Tempat tinggal (domisili) adalah tempat di mana seseorang tinggal / berkedudukan serta mempunyai hak dan kewajiban hukum. Tempat tinggal dapat berupah wilayah atau daerah dan dapat pula berupa rumah kediaman/kantor yang

berada dalam wilayah / daerah tertentu. Tempat tinggal manusia pribadi biasa disebut tempat kediaman. Sedangkan tempat tinggal badan hukum biasa disebut tempat kedudukan. Tempat tinggal sering juga disebut alamat. Arti penting (relevansi) tempat tinggal seseorang atau badan hukum ialah dalam hal pemenuhan hak dan kewajiban, penentuan status hukum seseorang dalam hal lalu lintas hukum, dan berurusan dengan pengadilan.
Tipa orang menurut hukum , harus mempunyai tempat tinggal yang dapat dicari. Tempat tersebut dinamakan domisii l. Juga Badan Hukum harus mempunyai tempat keduduk tertentu. Biasanya orang mempunyai domisili di tempat kediaman pokok. Tetapi bagi orang yang tidak mempunyai tempat kediaman tertentu, domicile dianggap berada di tempat ia sungguh-sungguh berada.
Status hukum seseorang juga menentukan tempat tinggalnya, sehingga akan menentukan pula hak dan kewajiban menurut hukum. Tempat tinggal seorang istri ditentukan oleh pemufakatan dengan suaminya. Dengan demikian hak dan kewajiban hukum mengikuti tempat tinggal yang ditentukan itu. Tempat tinggal anak dibawa umur ditentukan oleh tempat tinggal orang tuanya. Dengan demikian hak dan kewajiban anak tersebut ditentukan oleh tempat tinggal orang tuanya itu.
Dilihat dari segi terjadinya peristiwa hukum, tempat tinggal itu dapat digolongkan empat jenis, yaitu :
1. tempat tinggal yuridis
2. tempat tinggal nyata
3. tempat tinggal pilihan
4. tempat tinggal ikutan (tergantung)
Tempat tinggal yuridis terjadi karena peristiwa hukum kelahiran, perpindahan atau mutasi, perpindahan atau mutasi. Tempat tinggal yuridis dibuktikan oleh Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau bukti-bukti lain.
Tempat tinggal nyata terjadi karena peristiwa hukum keberadaan sesungguhnya. Umumnya dibuktikan dengan kehadiran selalu ditempat itu. Tempat tinggal nyata sifatnya sementara karena adanya perbuatan atau keperluan tertentu yang tidak terus - menerus untuk jangka lama.


Tempat tinggal pilihan terjadi karena peristiwa hukum membuat perjanjian, dan tempat tinggal itu dipilih oleh pihak-pihak yang membuat perjanjian itu. Tempatv tinggal itu dibuktikan oleh akta otentik yang mereka buat di muka Notaris.
Pengertian Rumah Kematian yang sering dipakai dalam undang-undang tidak lain seperti “domisili penghabisan” dari seorang yang meninggal. Pengertian ini, penting untuk menentukan hukum mana yang berlaku dalam soal warisan , hakim mana yang berkuasa mengadili perkara tentang warisan itu dan pentingpula berhubungan dengan peraturan yang memperkenankan kepada orang-orang yang menghutangkan si meninggal untuk menggugat “seluruh ahli waris” pada rumah kematian tersebut dalam waktu enam bulan sesudah meninggalnya orang itu.

7. HUKUM PERDATA YANG BERSIFAT PELENGKAP DAN MEMAKSA.
Menurut kekuatan berlakunya atau kekuatan mengikatnya, hukum perdatadapat dibedakan atas hukum yang bersifat pelengkap (aanvullend recht) dan hukum yang bersifat memaksa (dwingend recht).
Hukum yeng bersifat pelengkap adalah peraturan-peraturan hukum yang boleh dikesampingkan atau disampingi oleh orang-orang yang berkepentingan, peraturan-peraturan hukum mana hanyalah berlaku sepanjang orang-orang yang berkepentingan tidak mengatur sendiri kepentingannya.
Hukum yang bersifat memaksa adalah peraturan-peraturan hukum yang tidak boleh dikesampingkan atau disampingi oleh orang-orang yang berkepentingan, terhadap peraturan-peraturan hukum mana orang-orang yang berkepentingan harus tunduk dan menaatinya.
Dengan demikian hukum perdata tidak selalu berisi peraturan-peraturan hukum yang bersifat pelengkap, meskipun hukum perdata itu merupakan bagian daripada hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan, dan pada galibnya dibidang ini berperan kehendak individu yang bersangkutan, melainkan ada peraturan-peraturan hukum yang bersifat memaksa, yang memebatasi kehendak individu-individu tersebut.
Hukum perdata yang bersifat memaksa merupakan hukum perdta yang mengandung ketentuan-ketentuan tentang ketertiban umum dan kesusilaan. Pada

bidang-bidang yang menyangkut ketertiban umum dan kesusilaan inilah otonomi individu dibatasi.
Peraturan-peraturan hukum yang bersifat memaksa tidak berarti pelaksanaannya dapat dipaksakan, memang kadang-kadang undang-undang menentukan peratura hukum itu dapat dipaksakan dengan memperkuat peraturan hukum tentang “tidak boleh” (niet mogen) denga peraturan hukum “tidak dapat” (niet kunnen). Misalnya undang-undang melarang memutuskan perjanjian secara sepihak (pasal 1338 ayat (2) B.W.). kalau ada yang mencoba memutuskan suatu perjanjian secara sepihak maka ia tidak akan mencapai tujuannya yaitu perjanjian. Pelanggaran terhadap larangan itu diancam dengan kebatalan (nietigheid). Namun dalam hal-hal lain undang-undang mempunyai sanksi kebatalan (nietigheid), tetapi hanya membatasi pada penentuan denda atau ganti rugi, sedangkan tindakan yang bertentangan dengan ketentuan undang-undang yang bersifat memaksa itu tetap sebagai tindakan yang sah. Bahkan ada hal-hal dimana undang-undang yang merupakan hukum yang bersifat memaksa tetapi tidak mempunyai sanksi apa-apa terhadap pelanggarannya.

8. KEDEWASAAN DAN PENDEWASAAN
A. Menurut Konsep Hukum Perdata Barat
Istilah “kedewasaan” menunjuk kepada keadaan sudah dewasa, yang memenuhi syarat hukum.sedangkan istilah “pendewasaan” menunjuk kepada keadaan belum dewasa oleh hukum dinyatakan sebagai dewasa.
Menurut ketentuan pasal 330 KUHPdt belum dewasa (minderjarig) adalah belum berumur 21 tahun penuh dan belum pernah kawin. Apabila mereka yang kawin sebelum berumur 21 tahun itu bercerai, mereka tidak kembali lagi dalam keadaan belum dewasa.
Keadaan dewasa yang memenuhi syarat undang-undang ini disebut kedewasaan. Orang dewasa atau dalam kedewasaan cakap atau mampu (bekwaam, capable) melakukan semua perbuatan hukum, misalnya membuat perjanjian, melakukan perkawinan, membuat surat wasiat. Kecakapan hukum ini berlaku penuh selama tidak ada faktor-faktor yang mempengaruhi atau



membatasinya, misalnya keadaan sakit ingatan, keadaan dungu, pemboros (pasal 433 jo.pasal 1330 KUHPdt).
Dalam hal-hal yang sangat penting ada kalanya diperlukan bahwa kedudukan orang yang belum dewasa disamakan dengan kedudukan orang dewasa. Maksudnya supaya orang yang belum deasa tadi mempunyai kewenagan mengurus kepentingannya sendiri atau melakukakan beberapa perbuatan hukum tertentu yang dapat dipertanggung jawabkan. Dengan demikian orang yang belum dewasa oleh hukum dinyatakan dewasa. Peryataan ini disebut “pendewasaan” (handlicthting)
Pendewasaan itu ada dua macam, yaitu pendewasaan penuh dan pendewasaan untuk beberapa perbuatan hukum tertentu (terbatas). Kedua-duanya harus memenuhi syarat yang ditetapkan oleh undang-undang. Untuk pendewasaan penuh syaratnya ialah ia sudah berumur 20 tahun penuh, sedangkan untuk pendewasaan terbatas syaratnya ialah sudah berumur 18 tahun penuh (pasal 421 dan 426 KUHPdt).
Menanggapi konsep dewasa dan belum dewasa menurut hukum perdata barat, Prof.M.M. Djojodiguno, S.H. menyatakan bahwa batas umur 21 tahun untuk menentukuan dewasa atau belum dewasa merupakan suatu “fiksi”. Fiksi dapat diartikan sebagai tidak jelas dan tidak tegas atau tidak konsekuen, ini tidak sesuai dengan hukum adapt.

B. Menurut Konsep Hukum Adat.
Bagaimana pengertian belum dewasa dan dewasa menurut konsep hukum adat? Hukum adat tidak mengenal batas umur untuk menentukan belum dewasa atau sudah dewasa. Dalam hukum adapt tidak dikenal fiksi seperti hukum perdata barat. Hukum adat menentukan secara incidental saja apakah seorang itu, berhubung umur dan perkembangan jiwanya patut dianggap cakap atau tidak cakap, mampu atau tidak mampu melakukan perbuatan hukum tertentu dalam hubungan hukum tertentu pula. Artinya mampu memperhitungkan dan memelihara kepentingannya sendiri.
Hukum adat tidak mengenal perbedaan yang tjam antara orang yang sama sekali tidak cakap melakukan perbuatan hukum apapun di satu pihak, dan orang yang cakap melakukan perbuatan hukum apapun dilain pihak. Peralihan dari

keadaan “tidak cakap sama sekali” kepada keadaan”cakap penuh” itu berlangsung sedikit demi sedikit menurut keadaan.
Apabila kedewasaan ini dihubungkan dengan perbuatan kawin, maka menurut Prof.Djojodiguno,S.H. hukum adat mengakui kenyataan bahwa apabila seorang pria dan seorang wanita itu kawin dan dapat anak, mereka dinyatakan dewasa, walaupun umur mereka itu baru 15 tahun. Sebaliknya pula apabila dikwinkan mereka tidak dapat menghasilkan anak karena belum mampu berseksual, mereka dikatakan belu dewasa, misalnya dalam kawin anak (kawin gantung).
Dengan demikian a contrario disimpulkan bahwa oarng yang sudah berumur 21 tahun penuh dan walaupun belum 21 tahun penuh tetapi sudah kawin, disebut dewasa. Pengertian ini ditafsirkan juga sama bagi orang timur asing bukan cina dalam Stb. 1924 – 556.

C. Menurut Konsep Undang-Undang R.I. sekarang
Bagaimana pengertian belum dewasa dan dewasa menurut Undang-Undang Republik Indonesia sekarang ? berdasarkan undang-undang R.I. yang berlaku hingga sekarang, pengertian belum dewasa dan dewasa dapat dinyatakan seragam untuk warga Negara Indonesia. Dikatakan belum dewasa apabila berumur 21 tahun penuh dan belum kawin. Ketentuan ini a contrario dewasa apabila berumur 21 tahun penuh, walaupun belum berumur 21 tahun penuh, sudah perna kawin. Ketentuan belum dewasa dan dewasa terdapat dalam undang-undang berikut :
a. pasal 330 KUHPdt bagi warga Negara keturunan eropah;
b. Stb. 1924 – 556 bagi warga Negara Indonesia keterunan timur asing bukan cina;
c. Stb. 1924 – 557 bagi warga Negara Indonesia keteruna timur asing cina;
d. Stb. 1931 – 54 bagi warga nwgara Indonesia asli (bumiputra).

Pengertian belum dewasa atau dewasa yang diuraikan diatas adalah istilah yang dipakai oleh Undang-Undang (hukum tertulis). Apabila dalam undang-undng dijumpai istilah belum dewasa (minderjarig), itu berarti belum berumur 21 tahun penuh dan belum pernah kawin. Sebaliknya apabila dalm undang-undang

dijumpai istilah dewasa (meerderjarig), itu berarti tiu sudah berumur 21 tahun penuh, atau walaupun belum berumur 21 tahun penuh ia sudah kawin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar